Memahami Luka Lama dan Standar yang Membentuk Kita (2)

Mengapa Kita Sulit Menerima Diri? Memahami Luka Lama dan Standar yang Membentuk Kita

Jika artikel sebelumnya yaitu Cara Menerima Diri dengan Jujur Tanpa Topeng merupakan penjelasan pertama pada artikel Keberanian Menjadi Diri Sendiri maka artikel kali ini adalah penjelasan poin keduanya.

Kalau sebelumnya sudah dibahas tentang ketakutan untuk menjadi diri sendiri—tentang topeng, luka, dan rasa tidak nyaman di dalam diri—maka pertanyaan berikutnya yang muncul secara alami adalah ini:

Sebenarnya, kenapa sih kita begitu sulit menerima diri sendiri?

Pertanyaan ini sering muncul dalam momen-momen tenang. Saat malam mulai sepi, saat kita berhenti sibuk, saat tidak ada yang dilihat selain diri sendiri. Dan terkadang, keheningan seperti itu menimbulkan perasaan hangat… tapi juga bisa menimbulkan kegelisahan. 

Kita ingin menerima diri, kita ingin berdamai, tapi ada bagian dari dalam diri yang masih menolak, bukan karena kita lemah, bukan karena kita tidak mampu, tapi karena sejak kecil, kita tumbuh dalam berbagai bentuk standar yang menempel tanpa kita sadari.

Mari kita bahas perlahan, seperti sedang ngobrol dengan sahabat dekat yang bisa dipercaya sepenuhnya.

1. Sejak Kecil Kita Belajar Bahwa Nilai Diri Ditentukan oleh “Kepantasan”

Coba ingat masa kecilmu:

Berapa kali kamu dapat pujian karena rangking tinggi di sekolah?

Berapa kali kamu dipuji ketika kamu patuh?

Ketika kamu sopan?

Ketika kamu tampil rapi dan sesuai aturan?

Dan berapa kali kamu dimarahi atau ditegur ketika membuat sedikit kesalahan?

Ketika nilaimu menurun?

Ketika kamu menangis?

Ketika kamu menunjukkan sisi rapuhmu?


Tanpa kita sadari, sejak kecil kita diberi “rumus” sederhana:

Jika kamu baik, kamu diterima. Jika kamu salah, kamu dihukum atau dipermalukan.


Rumus ini terekam dalam pikiran kita selama bertahun-tahun.

Hingga akhirnya, kita tumbuh menjadi orang dewasa yang percaya bahwa:

untuk dicintai, harus sempurna;

untuk dihargai, harus berhasil;

untuk diterima, harus memenuhi ekspektasi;

untuk dianggap layak, tidak boleh gagal.


Jadi wajar kalau saat kita melakukan kesalahan, kita merasa “tidak cukup”. Ada suara kecil dalam diri yang berkata:

“Harusnya kamu bisa lebih baik…”

“Kok kamu gitu sih…”

“Kamu tuh selalu gagal…”

“Lihat orang lain, mereka lebih berhasil…”

Suara-suara itulah yang membuat kita sulit menerima diri sendiri.

Bukan karena kita buruk, tapi karena kita tidak pernah benar-benar diajarkan bagaimana menerima diri yang tidak sempurna.


2. Standar Orang Lain Sering Lebih Nyaring daripada Suara Hati Sendiri

Dalam proses tumbuh besar, kita dikelilingi banyak harapan: dari orang tua, keluarga besar, guru, teman, lingkungan, bahkan budaya. Semua harapan itu membentuk gambaran tentang siapa “kita seharusnya”.

Contohnya:

“Anak pertama harus lebih bertanggung jawab.”

“Laki-laki jangan cengeng.”

“Perempuan harus anggun dan sopan.”

“Yang penting sukses dulu, bahagia nanti.”

“Masa sudah umur segini, masih belum mencapai apa-apa?”

Harapan-harapan ini tidak semuanya buruk. Banyak yang niatnya baik. Tapi kadang, harapan-harapan itu membuat kita kehilangan kesempatan untuk mengenal siapa kita sebenarnya.

Lalu kita mulai membentuk versi diri yang sesuai dengan ekspektasi:

bersikap ramah meski hati lelah,

selalu mengalah meski ingin berkata tidak,

bekerja keras tanpa henti agar terlihat berguna,

menyembunyikan luka agar tidak terlihat lemah.

Perlahan, kita kehilangan suara hati sendiri. Kita mulai lupa apa yang benar-benar kita inginkan, apa yang membuat kita nyaman, apa yang membuat kita bahagia.

Dan ketika tidak lagi bisa membedakan antara diri asli dan diri yang dibentuk harapan orang lain, menerima diri menjadi hal yang sangat sulit. Kita bahkan tidak yakin mana bagian dari diri kita yang asli.


3. Kita Merasa Bersalah Ketika Tidak Bisa Menjadi Apa yang Orang Inginkan

Rasa bersalah ini halus, tapi kuat. Kadang tidak kita sadari, tapi efeknya besar. Misalnya:

merasa bersalah karena tidak bisa membanggakan orang tua,

merasa bersalah karena belum “sesukses teman-teman”,

merasa bersalah karena ingin memilih jalan hidup berbeda,

merasa bersalah ketika ingin istirahat,

merasa bersalah saat tidak bisa memenuhi ekspektasi pasangan atau keluarga.

Rasa bersalah membuat kita menilai diri sendiri dengan sangat keras. Kita lupa bahwa manusia tidak selalu berada di puncak. Kita lupa bahwa manusia punya batas. Kita lupa bahwa manusia wajar salah.

Padahal, seperti yang kita bahas sebelumnya:

Kesalahan adalah bagian dari kemanusiaan.

Tanpa kesalahan, kita tidak belajar. Tanpa ragu, kita tidak tumbuh. Tanpa kegagalan, kita tidak menemukan arah yang benar.

Tapi karena standar yang tertanam sejak kecil, kita memandang kesalahan seperti dosa yang harus disembunyikan, bukan sebagai pelajaran yang dimaklumi.


4. Kita Takut Menerima Diri karena Takut Menghadapi Sisi yang Kita Tutupi

Ada bagian dalam diri yang kita simpan rapi—kadang begitu rapi sampai kita sendiri lupa bentuknya. Mungkin itu kegagalan masa lalu, rasa malu, pengalaman ditolak, atau bagian dari diri yang tidak kita banggakan.

Menerima diri berarti harus menghadapi bagian itu.

Dan itu menakutkan.

Tapi begini…

Sisi-sisi yang kita tutupi itu tidak selalu seburuk yang kita bayangkan. Kadang, justru ketika kita berani melihatnya dengan jujur, kita menemukan bahwa mereka tidak serusak itu. Kita hanya tidak pernah memberi kesempatan untuk memahaminya.

Sama seperti kegelapan di dalam kamar.

Jika lampu tidak dinyalakan, kita mengira ada monster.

Begitu lampu dinyalakan, ternyata hanya baju yang menggantung.


5. Kenyataannya, Kita Sedang Belajar: Seumur Hidup

Satu hal yang sering kita lupakan adalah ini:

Manusia berubah seumur hidupnya.

Kita bukan makhluk statis. Kita belajar, tumbuh, tersandung, bangkit lagi, lalu ulangi proses itu berkali-kali sampai akhir hayat. Jadi wajar kalau kita belum sempurna. Wajar kalau kita masih bingung. Wajar kalau kita masih mencari-cari arah.

Kesalahan bukan tanda bahwa kita gagal, tapi tanda bahwa kita hidup—bahwa kita bergerak, mencoba, bereksperimen, dan berjuang.

Dan justru dari kesalahan itu, kita menjadi lebih bijak.

Menerima Diri adalah Perjalanan, Bukan Hasil Akhir

Menjadi diri sendiri dan menerima diri sendiri selalu dimulai dari pemahaman: bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian dari kita, dan itu tidak membuat kita kurang berharga.

Menerima diri bukan berarti berhenti berkembang.

Menerima diri berarti mencintai diri sambil terus bertumbuh.

Menerima diri berarti jujur, sekaligus lembut terhadap diri sendiri.

Kadang, kita hanya butuh berhenti sejenak dan berkata:

“Aku memang belum sempurna. Tapi aku sedang belajar. Dan itu sudah cukup.”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeda yang Bermakna

Merangkul Ramadan dengan Pola Pikir Positif: Menyambut Bulan Suci dengan Hati yang Lapang

Jeda yang Bermakna: Refleksi Spiritual dan Makna Hidup